Oleh : Susento dan M. Andy Rudhito
Pendidikan Matematika
FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Akhir-akhir ini, beberapa lembaga pendidikan tenaga kependidikan di tanah air telah memulai penelitian-penelitian pengembangan pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan matematika realistik. Penelitian ini melibatkan sekolah-sekolah dasar di kota-kota Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Palembang, Medan, dan Banjarmasin. Usaha pengembangan ini didasarkan pada pandangan bahwa pendidikan matematika realistik cukup potensial untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika di Indonesia (Soedjadi, 2001; Marpaung, 2002).
Pendidikan matematika realistik pertama kali dikembangkan di Negeri Belanda sejak tahun 1970-an. Sejak tahun 1990-an, pendidikan matematika realistik telah diadaptasikan di beberapa sekolah di Amerika Serikat, dan beberapa negara lain. Pendekatan ini menekankan pentingnya konteks nyata yang dikenal siswa dan proses konstruksi pengetahuan matematika oleh siswa sendiri. Masalah berkonteks nyata dijadikan titik pangkal dalam pembelajaran matematika, sedangkan konstruksi pengetahuan melalui proses reinvensi terbimbing (guided reinvention) merupakan inti proses pembelajaran matematika (Gravemeijer, 1994).
Dalam proses reinvensi terbimbing siswa diberi kesempatan untuk mengalami proses matematisasi yaitu membangun sendiri alat dan gagasan matematik, menemukan sendiri hasil, serta memformalkan pemahaman dan strategi informal. Siswa didukung untuk mencipta-ulang (to reinvent) matematika di bawah panduan guru dan bahan pelajaran. Untuk mencipta-ulang matematika formal dan abstrak, siswa diarahkan bergerak secara bertahap dari penggunaan pengetahuan dan strategi penyelesaian informal, intuitif, dan konkret menuju ke yang lebih formal, abstrak dan baku (van Reeuwijk, 2001: 613). Kegiatan penciptaan-ulang berlangsung dalam interaksi sosial yang memungkinkan terjadinya negosiasi makna matematik antar siswa dan antara siswa dan guru, serta pemberian bantuan berupa topangan (Susento, 2004).
Proses matematisasi dilaksanakan secara berjenjang, yang mencakup jenjang-jenjang sebagai berikut (Gravemeijer, 1994; Susento, 2004):
a. Jenjang situasional: Dengan topangan guru, siswa menggunakan pengetahuan dan strategi sendiri yang bersifat situasional dan terbatas dalam pemecahan masalah kontekstual.
b. Jenjang referensial: Dengan topangan guru, siswa membangun model situasi masalah untuk memecahkan masalah kontekstual.
c. Jenjang umum: Dengan topangan guru, siswa membangun model penalaran matematik untuk memecahkan masalah-masalah yang konteksnya berbeda-beda.
d. Jenjang formal: Dengan topangan guru, siswa melakukan penalaran matematik formal, yaitu memakai model matematik formal dan baku untuk memecahkan masalah matematik.
Daftar Pustaka
Bruning, R.H., Schraw, G.J., & Ronning, R.R. Cognitive Psychology and Instruction. Edisi ke-2. Englewood Cliff, NJ.: Prentice Hall.
Confrey, J. 1995. A theory of intelectual development. For the Learning of Mathematics. 15 (1), 3, h. 8-48.
Gravemeijer, K. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Uttrech: Freudenthal Institute.
Hatano, G. A conception of knowledge acquisition and its implications to mathematics education. Dalam Steffe, L.P., & Nesher, P. (Eds.), Theories of Mathematical Learning. Mahwah, NJ.: Lawrence Erlbaum.
Jonassen, D. 1999. Designing constructivist learning environment. Dalam Reigeluth, C.M. (Ed.), Instructional-Design Theories and Models, Volume II: A New Paradigm of Instructional Theory. Mahwah, NJ.: Lawrence Erlbaum.
Johnson, E.B. 2002. Contextual Teaching and Learning: What It Is and Why It’s Here to Stay. Thousand Oaks, Calif.: Corwin Press.
Marpaung, Y. 2002. Pendidikan matematika realistik Indonesia: Perubahan paradigma dalam pembelajaran matematika di sekolah. Dalam As’ari, A.R., et al. (Eds.), Prosiding Konferensi
Nasional Matematika XI: Bagian I. Malang: Universitas Negeri Malang.
Mayer, R.E. 1999. Designing instruction for constructivist learning. Dalam Reigeluth, C.M. (Ed.), Instructional-Design Theories and Models, Volume II: A New Paradigm of Instructional Theory. Mahwah, NJ.: Lawrence Erlbaum.
Nelson, L.M. 1999. Collaborative problem solving. Dalam Reigeluth, C.M. (Ed.), Instructional-Design Theories and Models, Volume II: A New Paradigm of Instructional Theory. Mahwah, NJ.: Lawrence Erlbaum.
Smith, B.L., & MacGregor, J. 1992. What is collaborative learning? Dalam Goodsell, A., Maher, M., Tinto, V., Smith, B.L., & MacGregor, J. (Eds.), Collaborative Learning: A Sourcebook for Higher Education. Pennsylvania State University: National Center on Postsecondary Teaching, Laerning, and Assessment.
Soedjadi, R. 2001. Pemanfaatan realitas dan lingkungan dalam pembelajaran matematika. (Makalah pada Seminar Nasional ‘Realistic Mathematics Education’ di Jurusan Matematika FMIPA UNESA Surabaya).
Susento. 2004. Matematika berbasis realitas anak. Basis, No. 07-08, h. 21-28.
van Reeuwijk, M. 2001. From informal to formal, progressive formalization: An example on solving systems of equations. Dalam Chick, H., et al. (Eds.), Proceedings of The 12-th ICMI Study Conference: The Future of The Teaching and Learning of Algebra (h. 613-620). Melbourne: The University of Melbourne.
Voigt, J. 1996. Negotiation of mathematical meaning in classroom process: Social interaction and learning mathematics. Dalam Steffe, L.P., et al. (Eds.), Theories of Mathematical Learning (h. 21-50). Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum.
Yackel, E., & Cobb, P. 1996. Sociomathematical norms, argumentation, and autonomy in mathematics. Journal for Research in Mathematics Education, 27 (4), h. 458-477.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar